top of page

2- WEEKEND!


Bandung, Oktober 2016 (6 Bulan setelah wisuda)

Slogan “Golden Weekend” milik saya sudah ada sejak saya lahir. Kalau orang lain sibuk menghabiskan “Me Time” dengan cara pergi ke tempat-tempat bagus untuk berfoto dan disebarkan ke media sosial, saya malah lebih suka menghabiskan waktu berjam-jam ditempat yang sama dan melakukan apapun yang saya mau. Termasuk tidak melakukan apa-apa. Dan weekend yang saya habiskan sejak hampir tiga tahun terakhir ini agaknya tidak semonoton itu—sejak Ezha membawa saya ke lingkaran pertemanannya—dimana ada anggota Enam Hari disana. Saya tidak paham alasan apa yang akhirnya membuat Ezha mau mengajak saya ada di dalam lingkaran pertemanannya yang biasanya tidak pernah dia lakukan sejak jaman kami masih sekolah dulu. Ezha bilang, perkumpulannya semasa sekolah dulu bukan merupakan tempat yang bisa dia percayai untuk menyertakan saya masuk kedalamnya, karena ada satu dan lain hal yang tidak bisa dia jelaskan. Meski begitu, jarak diantara saya dan Ezha tidak pernah berubah.

Belum genap tahun pertama sejak masuk kuliah saat itu, tepatnya setelah Ezha memutuskan untuk mencari kost-an dekat kampus, Ezha mengenalkan saya kepada teman-temannya itu: Mas Aksa, Doma, Brian, dan Danish. Saya malah merasa senang ketimbang bingung karena perubahan Ezha yang mau terbuka soal lingkar pertemanannya yang memang sangat luas. Tapi Ezha hanya membiarkan saya ada bersama dengan anak-anak Enam Hari. Tidak dengan teman-temannya yang lain. Yang saya tahu, bagi Ezha semua anggota Enam Hari pasti memiliki arti yang lebih spesial dari yang lain—yang mungkin juga lebih dari saya.

Berkat Ezha, saya bisa mengenal orang-orang dengan kepribadian yang luar biasa. Saya bisa sambil mempelajari pola pikir dan sikap yang berbeda-beda dari kelima laki-laki ini. Saya tumbuh bersama dengan Ezha sejak kami masih berusia 12 tahun. Menghabiskan tahun pertama dengan leluasa, dan begitu kami memasuki fase “remaja”, kami mulai sedikit melingkari privasi. Ah, persetan. Bagian itu hanya berlaku bagi saya yang menghargai privasi Ezha. Laki-laki itu masih selalu tidur dikamar saya dan masuk seenaknya tanpa tahu waktu sampai sekarang. Saya berkali-kali marah dan menuntut dia untuk menghormati privasi saya, tetapi Ezha selalu bilang “Privasi apaan sih? Nih ya, kalo lo butuh privasi silahkan. Tapi gue juga berhak dong mau ngapain disini. Hehe.” lengkap dengan cengiran bodohnya dan membuat saya geleng-geleng kepala. Sungguh, saat itu saya ingin sekali mengunci pintu rumah tetapi Ezha selalu punya cara membuat saya membukakan pintu—dia tahu kelemahan saya, Ezha selalu “menyogok” saya dengan cheese bubble tea atau kering usus balado kesukaan saya. Padahal, Ezha hanya menghabiskan waktu untuk tidur-tiduran, menonton film, atau bermain gitar yang bisa saja dia lakukan di rumahnya sendiri. Oh ya, tentu saja sebagian besar keberadaannya adalah untuk mengganggu saya. Tapi, sejak Ezha memilih kost, keberadaannya yang sudah sangat terbiasa ada disekitar saya malah membuat saya bingung ketika harus menghabiskan waktu sendirian dirumah.


Sampai akhirnya di semester ketiga kuliah, saya mendapat izin untuk kost juga, karena sebenarnya jarak dari Dipati Ukur ke Jatinangor memang lumayan jauh, sekitar 4 jam kalau dihitung waktu pulang-pergi dengan menggunakan bus Damri. Dan kalau saya diantar oleh driver dengan kendaraan pribadi, mungkin satu semester kedepan saya sudah menjadi gila akibat harus melalui kemacetan setiap harinya. Iya, sejauh itu. Saya yang ketika itu banyak ikut organisasi dan macam-macam kegiatan kampus seringkali pulang malam dan menjadi sering jatuh sakit. Dengan pertimbangan sana-sini, akhirnya Mama mengizinkan saya mencari kost yang dekat dari kampus agar lebih efisien. Ezha yang tahu hal itu dengan semangat memberi jaminan ke Mama: dia akan rajin mengecek keadaan saya dan meyakini Mama kalau dia akan berada disekitar saya 24/7 yang tentu saja diamini oleh Mama. Ezha ini ada apanya sih? ‘Kok Mama saya bisa sebucin itu? Yah, meskipun pada akhirnya saya-lah yang lebih banyak menghabiskan waktu di kost-an cat biru langit tempat Ezha tinggal bersama dengan anak-anak Enam Hari.

Jadi, apa yang membuat weekend saya berubah adalah karena sebegitu seringnya saya menghabiskan waktu di kost-an biru, Ezha sampai kaget saat saya mau repot- repot datang sambil membawa bahan masakan ketempatnya. Biasanya, setiap Minggu pagi di week pertama, saya akan menjadi chef dadakan untuk kelima laki- laki yang selalu kelaparan ini. Sebenarnya tidak selalu lima, karena Mas Aksa dan Danish yang memang satu daerah rutin pulang setiap selesai musim ujian. Berawal dari rasa kesal saya yang melihat kebiasaan makan mereka dengan meng-order fast food hampir setiap hari. Disini hanya Mas Aksa dan Brian yang masakannya masih layak dimakan, hanya saja Mas Aksa sibuk dan Brian bukanlah orang yang mau bangun pagi repot-repot memasakan lauk untuk lima perut setiap hari. Dan kebiasaan itulah yang membuat saya ikut menjadi alarm kesehatan mereka, meskipun tidak jarang saya juga lebih memilih jajan dibanding memasak. Untunglah masakan saya tidak pernah beracun atau membuat mereka lupa ingatan. Danish dan Brian mengklaim kalau saya seharusnya kost bersama mereka saja supaya mereka selalu bisa makan enak dan sehat tiap hari, dan tentu saja langsung dipelototi Ezha.

Seperti hari ini. Saya, Ezha, Brian dan Doma bermalas-malasan dengan marathon film Harry Potter sejak pagi di ruang tengah kost biru. Mas Aksa dan Danish pulang 1 minggu lebih awal dari rencana awal karena weekend minggu depan Enam Hari ada acara di luar kota. Karena kami bingung mau kemana diakhir bulan dengan isi dompet yang sudah mencekik ini, jadilah kami berempat kompak bermalas-malasan. Biasanya kalau weekend, Doma pasti sibuk dengan teman- teman organisasinya. Ezha yang berprofesi sebagai freelancer content writer juga biasanya disibukkan dengan pekerjaan, tetapi minggu ini jadwalnya kosong. Sedangkan Brian biasanya minta ditemani saya menggarap lagu baru untuk Enam Hari lepas dia selesai dengan pekerjaannya sebagai tutor Bahasa Inggris anak-anak sekolah menegah atas—yang kebanyakan anak-anak perempuan dan menjadi penggemar Enam Hari. Karena kami semua tidak ada kegiatan dan daripada mereka hibernasi sepanjang hari di dalam kamar masing-masing, menghabiskan waktu bersama- sama seperti ini ada bagusnya juga. Baru selang dua jam sejak saya membuatkan sarapan untuk mereka, Brian yang tadi bilang keluar mau beli rokok malah pulang membawa satu bungkus pecel tanpa ada jejak bungkus rokok ditangannya.

“Lo mau ngisep bumbu pecel?” Tanya Doma dengan tatapan lo-serius-mau- makan-lagi ke Brian dan disusul tawa kecil Ezha.

“Ehehe kan ada Fashaa, rokoknya nanti aja. Pecel lebih menggoda.” Jawab Brian asal sambil berjalan ke dapur untuk menyiduk sepiring nasi dan kemudian duduk disamping saya.

Sebenarnya Brian bukan merupakan perokok, anak-anak Enam Hari sangat menjaga kesehatan dan sebisa mungkin tidak merokok karena mereka semua ambil bagian bernyanyi didalam Enam Hari—kalau kata Mas Aksa. Mungkin, sebulan hanya 1 bungkus rokok yang Brian habiskan. Selain Brian, Ezha juga merokok. Doma memiliki alergi terhadap asap rokok yang akan menyebabkan dia sedikit sulit bernapas atau batuk-batuk, Mas Aksa tidak merokok karena tidak mau menghabiskan uang jatah bulanannya hanya untuk dibakar, dan Danish yang sudah mendapat wejangan dari Bundanya juga memilih untuk tidak menyentuh rokok sama sekali. Jujur, saya sempat kaget karena selama ini saya tidak pernah melihat Ezha merokok. Yah, mungkin itu juga salah satu alasan Ezha yang tidak pernah mau membawa saya berada dilingkaran pertemanannya semasa sekolah dulu. Dan selama saya ada disekitar mereka, Ezha dan Brian tidak akan menyalakan rokok sama sekali.


“Bri, serius udah laper lagi?” Tanya saya dengan tatapan kaget yang tidak bisa saya sembunyikan. Brian ini selain terkenal dengan kemampuan “bisa tidur disegala tempat” juga sangat kuat makan. Kurang dari dua jam setelah menghabiskan dua porsi nasi goreng, dia sudah makan nasi pecel sekarang. Benar- benar membuat saya dan Ezha kagum. Doma sepertinya lebih ke heran dibanding kagum.

“Ngga laper sih, tapi pas liat si Ibu dagang, aku jadi pengen pecel gitu. Kamu mau ngga? Makan berdua aku, yuk?”

“Aku masih kenyang. Kamu aja.”

“Suapin dooong?” Oke, Brian memang semanja itu dengan saya. Tidak ada malu-malunya didepan anak Enam Hari. Serius, sejak awal saya kenal dengan Brian, dia memang seperti itu, tetapi sejak kami resmi berpacaran, Brian tidak menahan apapun untuk ditunjukkan didepan anak Enam Hari termasuk bersikap clingy setiap saya ada. Aduh, Brian. Bisa-bisanya sih kamu membuat saya kelimpungan sendiri begini?

“Punya tangan tuh dipake anjir, yang laper siapa bikin repot siapa!” Pungkas Doma sambil kembali fokus ke layar TV.

“Bang, kalo lo iri liat gue sama Fashaa, noh ada si Ezha.”

“Bangsat gue masih normal!” Balas Doma sambil melempar bantal ke muka Brian yang malah asik menertawai wajah annoyed Doma. Ezha hanya geleng- geleng kepala dan beranjak ke dapur untuk membuat kopi.


“Zha, dua dong!” Teriak Doma ke arah Ezha.

“Satu aja berdua gue, Bang.”

“Oke.”

“Tuh kan, emang cocok lo sama Ezha.” Brian seperti tidak puas menggoda Doma yang langsung memutar bola matanya. Doma memang terkenal salty, tetapi sepertinya hanya Mas Aksa dan Brian-lah yang bisa membuat Doma bungkam. Bedanya, kalau Mas Aksa memang disegani oleh Doma, nah, Brian ini lebih membuat Doma malas meladeninya. “Buang-buang tenaga gue tuh ngeladenin useless bacotnya si Brian.” -Doma, Fak. Ilmu Komunikasi tahun akhir.

“Kunyah dulu yang bener, jangan sambil ngomong ih. Makan sendiri nih?”

“Iya ini dikunyah, ampun-ampun. A lagi dong?” Brian malah senyum- senyum seperti anak kecil yang membuat matanya melengkung segaris dan cheek dimple-nya terlihat. Mendapat serangan mendadak seperti itu malah membuat saya gagal menjadi galak. Serius, aksi galak saya tidak pernah bertahan lebih dari 20 detik ke Brian karena dia selalu punya cara untuk membuat saya tertawa kembali dengan tingkah konyolnya.

“Lo mau balik jam berapa, Shaa?” Tanya Ezha sambil meletakkan kopi di atas meja dekat TV yang langsung disambar oleh Doma.

“Lo pada ngga kemana-mana kan?” Ucap saya kemudian.

“Gue kayaknya jam 3an nanti harus ketempat tante gue deh.”


“Tante Alba?”

“Iya, si Reihan ngambek minta dibeliin sepeda. Kan Om Bagas lagi dinas di Palembang, jadi gue diminta nganterin Tante Alba sama Reihan nyari sepeda”

“Eh? Emang Reihan udah bisa sepedahan? Umur berapa sih sekarang?” Saat kuliah dulu, Ezha pernah mengajak saya beberapa kali ke rumah Tante Alba, karena jaraknya hanya 20 menit dari kost-an Ezha. Sebetulnya dulu Ezha diminta tinggal disana saja dan tidak perlu kost. Tapi Ezha ya Ezha, yang sebisa mungkin tidak mau merepotkan orang lain dalam hal apapun.

“Udah 4 tahun, udah bisa iri liat temen-temennya main sepeda.”

“Udah gede yah, pas gue kesana kan masih bayi gitu digendong Tante Alba.”

“Yaiyalah masa mau jadi bayi mulu. Bayi mah si Bang Bri noh!”

“Iye bayi. Bangkot Tai.” Selak Doma yang kemudian disusul tawa keras Ezha. Sedangkan Brian yang sedang tiduran dan menjadikan pangkuan saya sebagai “bantal” nya hanya mengerucutkan bibir sambil menunjukkan ekspresi kampret-lo- bang-je nya tanpa mengeluarkan suara apapun. Saya sedikit menahan tawa karenanya.

“Sirik aje lo berdua. Makanya cari pacar biar kaga mahoan mulu.”

“Heh, Segara Debrian Pratama. Gue tuh banyak yang ngantri. Cuma—”


“Cuma ngga bisa move on dari Queena.” Potong Brian yang sekali lagi membuat Doma bungkam.

Doma dan Queena sebenarnya baru satu bulan lalu putus setelah pacaran sejak awal masuk kuliah. Alasannya karena orang tua Queena yang tidak suka dengan sikap Doma yang terlalu santai dan terlihat suka main-main. Terlebih, orang tua Queena ingin anaknya itu segera menikah setelah lulus kuliah. Sedangkan Doma masih punya banyak mimpi yang ingin dia capai sebelum terikat dengan suatu hubungan yang serius. Semua hubungan kalau diharuskan berakhir memang tidak pernah tidak menyakitkan. Mungkin hal ini biasa saja ditambah Doma selalu terlihat baik-baik saja. Tapi, Ezha pernah bilang pada saya kalau dia mendengar Doma mengigau sambil menyebut nama Queena beberapa kali. Karena kamar Ezha dan Doma bersebelahan dan racauan Doma sedikit membuat Ezha khawatir, Ezha yang saat itu tidur larut karena menyelesaikan project-nya berniat mendatangi Doma, namun niatnya dia urungkan setelah melihat Doma terbangun sambil menatap kosong ke dinding kamarnya, dan menghela napas berat. Dari situ Ezha tahu kalau Doma tidak baik-baik saja dengan perginya Queena dari hidupnya.

“Ini mau lanjut makan atau gimana nih? Malah tiduran gini sih?” Tanya saya sedikit menunduk kearah Brian yang malah dengan santainya menatap wajah saya yang saya yakin sudah memerah sekarang.

“Buat nanti aja.”


“Ya basi dong, Bri. Bumbunya ‘kan udah kecampur gini? Nanggung, dua suap lagi. Bangun ah, abisin. Kasian nanti ayamnya mati kalo nasinya ngga abis?” Ucap saya sambil memukul kecil lengan Brian sembari menyuruhnya bangun. Sebenarnya kalau Brian sudah mode manja begini, mudah saja buat saya untuk mengiming-imingi dia untuk mau melakukan sesuatu. Hanya saja, mode Brian ini juga yang membuat saya sering kali kelimpungan sendiri untuk mengatur nafas yang tertahan karena aksi-aksi dadakannya yang diluar perkiraan saya. Seperti saat ini, dia malah melingkarkan lengannya ke pinggang saya dan menenggelamkan wajahnya ke arah perut saya.

“Hmm? Bang Doma dong? Bang Doma ‘kan ayam.” Jawab Brian asal dan masih mempertahankan posisinya.

“Shaa, kamu abis makan apa sih tadi? Jantung kamu pindah ke perut apa gimana?”

“Iya jatung pisang aku makan mentah-mentah tadi. Bangun ngga?” Yang saya marahi malah mengeluarkan cengiran lebar sambil terbangun dan mengusap pelan puncak kepala saya.

“Lucu banget sih kamu kalo salting, pacarnya siapa coba ini?” Goda Brian lagi yang semakin membuat pipi saya memerah dan saya berharap bisa menghilang saja atau berganti menjadi kepulan asap dari hadapan Brian, Ezha dan Doma saat ini.


“Pacar gue! Nash, udah deh mending lo putusin si Brian. Alay begitu bikin eneg tau ngga!” Sudah jelas sekali siapa yang akan berucap begini, bukan? The one and only, Jevian Sastra Domani.

“Ehehe alay tapi gue sayang sih, Dom.” Bukan hanya Brian, Ezha atau Doma saja yang terkejut dengan ucapan saya. Saya sendiri juga kaget dengan respon yang barusan saya keluarkan. Wah, efek yang Brian berikan betul-betul membuat saya menjadi error begini.

“PACAR AKU NGOMONG APA TADI? YAAMPUN SINI SINI BRIAN PELUK DULU?” Lalu Brian menghamburkan pelukannya pada saya dan mengecup puncak kepala saya. Saat itu juga saya mendaratkan sebuah cubitan kecil ke perutnya yang dia respon dengan menjauhi dirinya dari saya, karena dia tahu dia sudah bersikap berlebihan dan memanfaatkan sikap “salah tingkah” saya seenaknya.

“Hahaha iya ampun yaaang. Udah aku mandi dulu! Hahaha.” Ujar Brian yang setengah berlari menuju kamarnya.

Another good thing is Doma merupakan orang yang mudah sekali mencairkan suasana. Namun bisa juga menjadi perusak disaat bersamaan. Selang 5 menit setelah kejadian tadi, dia tiba-tiba mengagetkan saya dan Ezha dengan wajah seriusnya.

“Lama-lama gue pindah kost-an juga nih.”

“Gue ikut lo, Bang.” Jawab Ezha dengan wajah paniknya.


“Ya jangan, bego! Kalo lo ikut gue, ntar si Nanash bisa jadi Hell Boy versi cewek kalo kelamaan ditinggal berduaan sama Brian. Liat aja noh mukanya dari tadi merah begitu. Lo ngga bakal meledak ‘kan, Nash?”

“Ah apaan sih Dom udah gausah liatin gue!”

“Bisa salting juga ni cewek. Gue kira cuma bisa jadi es batu. Hahahaha” Tawa Doma terdengar puas setelah melihat saya benar-benar kehabisan kata-kata. Demi Tuhan ini masih jam 10 pagi dan saya sudah menjadi bulan-bulanan begini?

“Pengen banget gue rekam tau ngga muka lo, langka banget, Shaa.”

“Ezha diem ngga usah ikut-ikut!”

“Emang ngga bisa nih anak ditinggal berdua sama Bang Bri. Bahaya. Hahaha”

“AH EZHA UDAH BACOT BANGET SIH LO?” Umpat saya yang malah berlari kearah kamar Brian dan disambut dengan penampilan Brian yang baru selesai mandi—hanya memakai handuk putih yang menutupi pinggang sampai lututnya lengkap dengan rambutnya yang masih basah. Saya dan Brian sama-sama mematung karena terkejut; saya kaget karena melihat Brian dengan penampilannya yang baru selesai mandi, dan Brian juga tidak kalah kaget karena melihat keberadaan saya yang dengan asyik membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dulu. Langkah saya otomatis terhenti di depan pintu kamar Brian dan tidak bisa bereaksi selama beberapa detik. Anjir. Roti sobeknya Brian. Nafashaa. Konsentrasi dooong! Gila lo!


Shit. Shit. Shiiiiit! Kenapa juga sih saya malah berlari ke kamar Brian? Saat itu juga saya langsung berbalik badan dan menutup kembali pintu kamar Brian seraya berlari turun dari lantai dua menuju pintu keluar kost-an biru. Terdengar suara tawa Ezha dan Doma yang semakin menjadi. Masa bodoh mau kemana, yang jelas saya sudah sangat kepalang malu pagi ini!


“Shaa, mau kemana lo hahaha itu piring pecelnya taro dulu!” Teriak Ezha dari dalam kost-an dan membuat saya menghentikan langkah kaki.


‘Kan? Bodohnya Nafashaa. Bisa-bisanya sedari tadi saya membawa piring nasi pecelnya Brian? Ini saya ‘kok sebodoh ini, sih? Ah, saya benci menjadi korban salah tingkah!



cloudsans, December 8th, 2019 / 17:50

Comments


Post: Blog2_Post

Subscribe Form

Thanks for submitting!

©2020 by cloudsans. Proudly created with Wix.com

bottom of page