1- INTRODUCTION
- cloudsans
- Jun 18, 2020
- 6 min read
Updated: Apr 26, 2021

Sejak hari pertama Ezha membawa saya ketempat dia biasa menghabiskan waktu, sebuah ruangan persegi berukuran 4x5 meter yang dilapisi pengendap suara disetiap sisinya, saya merasa memiliki hal-hal baru yang sepertinya akan menjadi favorit saya dihari-hari berikutnya. Saya memang suka musik terutama gitar. Kadang, saya dan Ezha meng-cover lagu apa saja demi membunuh rasa bosan. Walaupun sebenarnya menghabiskan waktu bersama Ezha tidak pernah membosankan sama sekali. Saya tahu Ezha bermain Band dengan teman-teman satu kost-annya, tetapi saya tidak pernah mau kalau Ezha meminta saya menemaninya latihan. Saya pikir, untuk apa juga saya berdiam diri di dalam studio dan menunggu sampai Ezha selesai 2 jam berikutnya? Sampai pada akhirnya saya kalah dan diseret Ezha kedalam studio Band milik keluarganya, dan seperti yang saya katakan, menghabiskan waktu dengan Ezha tidak pernah jadi membosankan.
Ezha memperkenalkan saya pada teman-temannya yang beberapa sudah pernah saya temui sebelumnya di kantin kampus atau di kost-an Ezha. Saya bukan merupakan orang yang mudah bergaul apalagi bisa langsung beradaptasi saat bertemu dengan orang baru. Berbeda sekali dengan Ezha yang kenal dengan banyak orang di kampus. Tetapi sepertinya kebiasaan saya itu tidak berlaku terhadap teman-teman Ezha ini: Band Enam Hari, mereka menyebutnya begitu. Orang-orang inilah yang membuat hidup saya seolah memiliki lembaran baru. Setiap hari ada saja cerita berbeda dan membuat saya selalu menantikan pertemuan dengan mereka dihari selanjutnya.
Sebuah Band kampus yang diresmikan setelah mereka tidak sengaja diminta untuk main di acara resepsi pernikahan seroang kakak tingkat—tanpa latihan, tanpa rencana. Saya ingat betul saat itu saya menemani Ezha pergi ke acara itu, dan entah bagaimana tahu-tahu mereka berlima—Ezha dan yang lainnya—sudah berada di atas panggung dan memegang alat instrumen sesuai dengan keahlian masing-masing. Membawakan sebuah lagu langganan ketika acara resepsi dari beberapa Band Indie, dan tentu saja semua tamu terhibur. Lantas mereka diminta membawakan 5 lagu tambahan sebagai Band pengganti karena sang penyanyi yang harusnya bertugas mendadak terserang diare. Alih-alih hanya datang untuk kondangan, malah mereka yang mendapat amplop lengkap dengan tawaran manggung di acara lain.
Sebetulnya mereka semua satu kost dan memang lumayan sering jamming atau latihan saat mereka memiliki jadwal libur yang sama. Tetapi sebelumnya tidak pernah manggung di acara resmi, hanya pernah sekali mereka tampil saat acara amal yang digelar oleh Fakultas Seni. Acara resepsi ini merupakan perdana mereka tampil di depan umum. Karena reaksinya positif, dari situlah mereka baru serius memikirkan nasib Band Enam Hari kedepannya. Dan kali ini, saya akan memperkenalkan 5 orang laki-laki dari Band Enam Hari.
Pertama ada seseorang yang selalu terlihat serius lengkap dengan aura pemimpin dan memiliki suara khas yang serak. Pembawaannya saat bernyanyi sambil bermain gitar selalu memberi kesan menyayat hati, sang spesialis lagu-lagu patah hati—Banyu Satya Aksara namanya. Perantau dari Solo yang memiliki seorang kakak perempuan yang usianya berbeda 6 tahun. Mas Aksa sendiri merupakan satu angkatan lebih tua dibanding saya, jurusan Ilmu Hukum. Mas Aksa dipilih sebagai Leader Enam Hari karena berpengalaman menjadi ketua salah satu Organisasi kampus. Awalnya saya sangat segan dengan Mas Aksa, namun kelamaan ternyata saya tahu kalau sifatnya sangat supel dan merupakan orang yang doyan guyon juga. Saya sempat terkejut ketika sesaat sebelum latihan Band berakhir, Mas Aksa memamerkan kemampuan menarinya yang dia sebut tarian “Free Style” itu. Acara latihan Band Enam Haripun diakhiri dengan ulah Mas Aksa yang langsung menjadi trending topic satu kost anak Band Enam Hari selama satu minggu. Yah, hal itu memang tidak lantas mengubah pandangan kagum saya terhadap sifat pemimpin yang dimiliki Mas Aksa. Hanya saja terkadang saya masih geli kalau mengingat tarian Mas Aksa yang iconic.
Yang kedua, ada Jevian Sastra Domani. Lelaki tinggi dan kurus, selalu memakai kacamata tanpa kaca dan fasih berbahasa Inggris. Disebut sebagai orang yang paling banyak—maksud saya pintar bicara karena jurusannya Ilmu Komunikasi, tetapi lebih sering bicara dengan gaya “Salty” nya yang siapapun tidak bisa menyaingi Doma. Lead Guitar dan merupakan anggota tertua di Band ini—satu tahun di atas Mas Aksa. Maka dari itu, meskipun dia terkenal Salty, tidak ada yang berani membantah karena Doma—terkecuali Mas Aksa yang akan turun tangan jika sudah dibutuhkan penengah. Ezha bilang Doma itu blasteran Amerika-Indonesia dan kesan pertama yang melekat sejak pertama kali saya melihat Doma adalah gayanya yang paling “Jakarta”. Sama seperti Mas Aksa, Doma memiliki seorang kakak perempuan—bernama Sheryl—yang berbeda 3 tahun dengannya. Ezha juga pernah mengatakan kalau alasan Doma memilih jurusan Ilmu Komukasi adalah untuk memperlancar bahasa Indonesia-nya dengan tujuan bisa mematahkan teori gila Ezha berupa “Doma adalah titisan seekor unggas” dengan bahasa yang intelek. Terlepas dari sikap dan kata-katanya yang pedas, diluar dugaan, saya bisa menghabiskan banyak waktu dengan Doma untuk membahas ini-itu, main game, dan membaca novel. Iya, karena hobi saya dan Doma sama. Memang terasa aneh karena dia yang meminta saya tidak perlu memanggilnya dengan embel-embel “Kak”. Katanya saya tidak cocok memanggilnya dengan sebutan itu. Dia hanya memperbolehkan Mas Aksa dan saya yang memanggilnya Doma. Sedangkan kalau Brian, Ezha atau Danish akan langsung mendapat lemparan sepatu kalau berani memanggilnya tanpa sebutan “Bang” sebelum namanya.
Ketiga, Bassist dengan tatapan mata tajam yang lumayan sering tersenyum. Seumuran dengan Aksa tetapi memilih menunda kuliah 1 tahun karena sibuk mengurus kafe milik ayahnya. Segara Debrian Pratama. Memiliki adik laki-laki bernama Ebrano yang lebih muda 7 tahun dengannya. Lelaki asal Jakarta yang mengambil jurusan Sastra Inggris—sama seperti saya dan Danish. Brian merupakan orang pertama yang mengajak saya bicara dibanding yang lain. Ya, dia semudah itu bergaul dengan orang lain. Meski begitu, Brian merupakan “otak” dari Enam Hari karena hampir semua lagu mereka Brian-lah penulisnya—terkadang yang lain juga ikut membantu tentunya. Ezha sempat bercanda ingin menjodohkan saya dengan Brian karena dia heran melihat kedekatan saya dengan Brian yang memang kebetulan kami berdua berada di satu jurusan yang sama. Tapi kemudian Ezha mengurungkan niatnya setelah dia tahu kalau Brian betul-betul menyukai saya, dan karena Ezha marah frekuensi pertemuan saya lebih banyak dengan Brian dibanding Ezha sendiri. Baik dikampus maupun saat Enam Hari latihan dimana saya akan selalu menyempatkan diri untuk datang menonton mereka. Iya, hubungan saya dan Brian memang terbilang cukup dekat dan saya sendiri tahu bahwa Brian menyukai saya. Tetapi saya merasa kalau Brian bukan menyukai saya seperti itu, dia mungkin menyukai saya seperti hubungan saya dan Ezha saja.
Lalu ada Danish Ganendra Oktara sang Drummer. Anak termuda di kost-an biru yang selalu membuat saya semangat menonton penampilan Enam Hari. Danish memiliki bahasa tubuh yang menggemaskan, dan apapun yang dia lakukan semua terihat lucu dimata saya. Sebenarnya umur dia hanya terpaut satu tahun dibawah saya, hanya saja semua anak Enam Hari meng-adik kecilkan Danish dengan sangat karena Danish memang selucu itu. Setelah melihat sendiri seperti apa sifatnya, jadilah saya Fans Danish hanya dengan satu pertanyaan “Kak Nafashaa mau Danish buatin roti juga?” waktu saya datang ke kost-an Ezha pagi-pagi demi mengantarkan tas bekal Ezha yang terbawa oleh saya. Danish berasal dari daerah yang sama dengan Mas Aksa, dan karena Danish ini adik tingkat yang satu jurusan dengan saya dan Brian, kami bertiga sering membahas tugas kuliah bersama-sama. Biarpun Danish merupakan anggota termuda, dia satu-satunya anggota yang sudah memiliki pacar meskipun mereka harus menjalan Long Distance Relationship karena Mia tinggal dan bekerja di Solo. Sedikit membuat saya patah hati namun tentu saja tidak mengurangi rasa gemas saya terhadap Danish. Ezha lebih cemburu melihat saya fangirling ke Danish, oleh karena itu Ezha sering memanggil saya dengan iming-iming “Kak” didepan nama saya mengikuti cara Danish memanggil saya. Oh, tentu saja Ezha tidak menggemaskan seperti Danish.
Dan yang terakhir, sang Keyboardist, Wirasana Alezha Gibran. Ezha memiliki seorang Kakak tiri bernama Fajar yang berbeda 2 tahun dengannya. Saya dan Ezha sudah berteman sejak kami lulus Sekolah Dasar. Waktu itu Ezha dan keluarganya baru pindah rumah tepat di seberang rumah saya, dan karena kami berdua seumuran ditambah sifat Ezha yang ceria, mungkin tidak perlu waktu yang lama bagi kami untuk akrab. Saya dan Ezha sebetulnya sangat berbanding terbalik. Ezha sangat ramah, penyayang, dan selalu tersenyum termasuk pada orang yang tidak dia kenal. Walau tidak sering membuat saya malu dan kesal juga. Sejak saat itu kami selalu masuk di sekolah yang sama, sampai saat kuliah, Ezha memilih jurusan Antropologi yang berbeda dari saya. Sebenarnya Ezha memiliki minat terhadap musik karena keluarganya membuka kursus Piano, tetapi Ezha memang seperti itu, dia selalu merasa bebas memilih apapun yang dia mau. Termasuk selalu seenaknya tidur di kamar saya saat dia pulang dari kost-an. Jarak antara kampus dan daerah rumah kami memang agak jauh, itulah kenapa Ezha ingin mencoba hidup sebagai anak kost-an. Meskipun selama sebulan setelah pindah, Ezha murung sendiri karena teman satu kost-nya—Doma—suka mem-bully, katanya.
Ada cerita lucu tentang saya dan Ezha. Lebih tepatnya, cerita aneh. Ezha sering sekali mengaku-ngaku sebagai adik saya. Yang tentu saja orang-orang tidak akan percaya semudah itu karena kami lebih sering dibilang seperti… orang yang memiliki “ikatan”. Mendengar hal itu berkali-kali, reaksi kami mulai dari yang sangat menyangkal, menertawai, sampai pada akhirnya kami hanya bisa menghela napas dan terima saja julukan itu. Bahkan semua anggota Enam Hari sempat tidak percaya kalau saya dan Ezha hanya teman. Saat pertama kali saya diajak Ezha menonton latihan Band Enak Hari, Doma dengan Salty-nya langsung melontarkan pertanyaan “Mana ada sih cowok sama cewek temenan sekian lama tapi ngga ada perasaan satu sama lain? Such a bullshit.” dan kemudian dijawab Ezha, “Ada kok, nih gue sama Fashaa!” Danish hanya mengangguk setuju dan Brian melirik kearah saya dengan tatapan ingin tahu. Doma sendiri masih tidak mau kalah dengan pernyataan Ezha seolah dia mau menunjukkan kalau saya dan Ezha ini memang ada “apa-apa”. Mas Aksa yang paham kalau Doma sengaja menggoda Ezha pun menengahi dan menyudahi obrolan tidak penting itu dan meminta semuanya kembali fokus untuk latihan.
Terlepas dari sikap mereka yang unik dan berbeda-beda, saya merasa nyaman berada disekitar mereka. Karena Ezha dan semua anggota Band Enam Hari, saya memiliki hari-hari yang jauh lebih berbeda dan membuat saya bahagia. Kalau kata Ezha yang sedang belajar Salty ala Doma, “Seneng ketemu anak Enam Hari apa seneng ketemu Bang Brian?”
Wah, baru kali ini saya kalah telak dari Ezha.
cloudsans, October 13th, 2019 / 21:27
コメント